Pages

Senin, 27 Januari 2014

Akar Kekerasan Oleh Supporter Sepakbola (Bag-2 Hasrat Integratif/Berkumpul Suporter)

blog - suporterAdapun dalam segmen kedua ini, ada dasar lain dari berbagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh suatu kelompok suporter. Dan sekali lagi, dari sebuahsumber yang ayas dapat, ayas mencoba mengulas sekali lagi tentang akar kekerasan oleh suporter
Fenomena fanatisme sepak bola merupakan komunitas yang memiliki sifat integratif, sehingga banyak ahli ilmu sosial menggambarkan fenomena fanatisme sepak bola seperti karakteristik religi. Durkheim misalnya, menegaskan bahwa efek intergratif bagi kelompok sosial dapat diasosiasikan dengan religi. Senada dengan teori tersebut, Ganang, suporter Aremania korwil Facebook menyatakan, ”arema dan aremania itu adalah agama ke dua. Kalo islam agamamu, keturunanmu pasti islam, klo Kristen pasti Kristen. Klo kamu aremania gedemu aremania.” Fanatisme suporter merupakan komunitas dengan ikatan integrasi yang kuat. Fanatisme tinggi dengan melakukan pembelaan pada klub secara berkelompok dengan menafikkan kesalahan atau kualitas klub merupakan wujud adanya collective conciousness (kesadaran kolektif) pada komunitas suporter. Menurut Durkheim, kesadaran kolektif baru akan “terwujud” melalui kesadaran-kesadaran individual.
Lebih jauh Durkheim menjelaskan, bahwa orang selalu terancam kehilangan ikatan moral, karena tanpa ikatan moral individu akan diperbudak oleh nafsu mereka ke dalam kegilaan mencari kepuasan yang tidak pernah puas. Hal yang diinginkan manusia selalu lebih, dan cenderung akan menjadi budak yang selalu minta lebih jika masyarakat tidak membatasi manusia tersebut. Oleh karena itu, individu butuh moralitas dan kontrol dari luar untuk bebas. Karena Durkheim berpandangan bahwa setiap manusia memiliki hasrat yang tidak pernah puas.
Sebenarnya konsep Durkheim mengenai kesadaran kolektif merujuk pada struktur umum pengertian, norma, dan kepercayaan bersama. Bentuk kesadaran ini berwujud sebuah hukum adat, norma-norma atau aturan-aturan lainnya yang secara sadar ditaati oleh seluruh masyarakat guna menekan hasrat ketidakpuasan manusia. Dalam ranah sepak bola, Kesadaran individual kemudian melebur menjadi satu ke dalam wadah berupa suporter dan mengarah pada terbentuknya kesadaran kolektif. Suporter sepak bola merupakan kumpulan orang yang tidak teratur dan bersifat sementara, mereka memiliki kesadaran kolektif dalam wujudnya sebagai suatu fanatisme buta, rasa cinta berlebih, dan kepemilikan bersama pada klubnya itu.
Seperti dikatakan Ganang dan Ot suporter Aremania, “Mereka (aremania) sadar karena kecintaan mereka sama Arema. Malang itu kota bola mas! Meskipun arema ga maen tapi di sini lebih kental (kental sepak bolanya). Karena aku memang cinta arema. Pokoknya ojo ngerti ada yang ngutik (jahat) aremania. Terus jangan ada yang ngatain (menjelek-jelekkan) arema, kita ga akan ngerusuhi.”
Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, di mana butuh rasa kebersamaan, integrasi yang kuat, cinta, termasuk fanatisme suporter sepak bola. Erich Fromm mungkin psikolog yang cukup jelas membahas hasrat manusia yang berakar dari karakter manusia itu. Lebih jelas Fromm menyatakan, bahwa karakter pada manusia merupakan pengganti kebutuhan fisiologis (dorongan organik; usaha mempertahankan diri) manusia yang kurang berkembang. Hasrat manusia, seperti cinta, kelembutan hati, kebebasan, tindakan destruktif, sadis, masokis, dan keinginan lebih lainnya adalah instrumen untuk memenuhi kebutuhan eksistensialnya, yang berakar dari kondisi eksistensi manusia tersebut.
Hasrat yang paling dominan pada masing-masing manusia ini berbeda, meski kebutuhan eksistensial mereka tidaklah berbeda. Sebagai contoh, manusia dapat dikuasai rasa cinta atau destruktif. Dalam banyak situasi, individu berusaha memenuhi salah satu kebutuhan eksistensialnya, kebutuhan yang paling dominan nanti berupa cinta atau keinginan merusak, semua tergantung pada kondisi sosialnya.
Dalam konteks suporter sepak bola, hasrat dari masing-masing individu dalam suporter tentu berbeda-beda. Ada yang ingin mencari kebersamaan, kebebasan, atau bahkan melakukan hal-hal bersifat destruktif. Tidak dapat dipungkiri, bahwa perbedaan hasrat pada tiap individu ini turut dipengaruhi oleh latar belakang para suporter yang berasal dari berbagai struktur (kelas atas sampai bawah) masyarakat. Mereka yang berasal dari kelas atas pada umumnya tentu lebih cenderung membawa sifat-sifat unsur kedamaian, karena dalam kehidupan keseharian mereka hidup dalam kondisi yang berkecukupan. Sedangkan individu yang berasal dari kelas bawah, biasanya hidup dalam kondisi kekurangan dan ketertindasan yang tentu saja secara objektif akan cenderung memiliki sifat-sifat memberontak
Namun ketika dihadapkan pada satu objek besar, disini klub sebagai medianya. Di mana suporter melihat klub yang notabene merupakan representasi dari daerahnya, sebagai awal kecintaan mereka pada klub tersebut. Maka, muncullah Fanatisme sebagai ajang sekelompok individu dalam suporter untuk mengaktualisasikan rasa kepemilikan dan kecintaan pada sebuah klub, serta rasa kebersamaan. Setelah di masyarakat mereka selalu dibatasi norma-norma yang kurang menyediakan tempat bagi individu untuk lebih menonjolkan eksistensinya.
Menurut mas Nanang, hal ini terjadi karena salahnya penafsiran teman-teman bonek dalam memaknai kebanggaan pada klubnya. Seperti dikatakannya, “memang betul, bahwa bonek terdiri dari berbagai macam struktur di masyarakat, mulai dari yang berduit banyak sampai yang berduit sedikit. Bahwa ada kecenderungan over proudly dari beberapa kalangan bonek dalam menterjemahkan karakter bonek sebagai yang berani, bernyali dan sebagainya.”
Jadi secara garis besar, rasa cinta pada klub dan kebersamaan suporter menjadi akumulasi dari hasrat masing-masing individu untuk bertindak bersama di luar kerangka norma. Yang secara individual tidak dapat mereka lakukan sendiri. Seperti dikatakan Andi, suporter bonek dari elemen Brigade bonek, “Saya penakut! Orang kalo sudah memakai kaos bonek itu hilang (takutnya). Apa lagi itu kalo sudah berangkat rame-rame, itu (orang-orang) pada minggir. Jadi kalo sudah pake hijau, ada orang ngerasain paling kuat (sok jagoan) kita bales. Beda saat sendiri, kalo sudah pake hijau, kita berkelahi pasti yang lain (teman bonek) pada bantu, padahal ga kenal.”
Dari sepenggal argumen di atas maka dapat disimpulkan, bahwa kebutuhan untuk menggapai kebebasan telah menjadi faktor dominan individu saat melebur dalam kelompok suporter. Mereka yang penakut menjadi berani, yang pemalu menjadi percaya diri, dan tentu saja yang terkekang menjadi bebas. Seluruh individu yang berasal dari berbagai struktur masyarakat membaur jadi satu dalam suporter, guna mendapatkan kebebasan dari masing-masing hasrat individual mereka untuk kemudian dituangkan dalam bentuk kecintaan dan pengorbanan pada sebuah klub.
Bahasa mudahnya “kalau sudah ngumpul dengan teman2nya dengan identitas yang sama maka semua bisa terjadi”
Salam Satoe Jiwa

sumber : http://junedoyisam.wordpress.com/2013/04/26/akar-kekerasan-oleh-supporter-sepakbola-bag-2-hasrat-integratif-berkumpul-suporter/

0 komentar:

Posting Komentar